Salah satu dosen dan peneliti ternama dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), yang dikenal dengan nama akrabnya, Fatma, berhasil menorehkan prestasi luar biasa dengan masuk dalam daftar bergengsi The Asian Scientist 100. Daftar yang dirilis oleh Asian Scientist Magazine ini menghormati 100 ilmuwan, peneliti, dan inovator terkemuka di Asia yang telah memberikan kontribusi besar dalam bidang sains, teknologi, dan inovasi.
Pemilihan nama Fatma dalam daftar ini bukan tanpa alasan. Kontribusinya di bidang kimia bahan alam, terutama dalam meneliti potensi medis tanaman endemik Indonesia, mendapatkan apresiasi tinggi. Penelitiannya berfokus pada tanaman yang kerap digunakan sebagai obat herbal oleh masyarakat di pelosok tanah air. “Sejak awal, perjalanan riset saya di bidang ini tidak pernah terputus,” ujarnya, menjelaskan bahwa dedikasinya pada riset ini mendorong penemuan fakta ilmiah terkait tanaman tradisional yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Fatma berharap, penelitian ini mampu membantu masyarakat lebih bijak dalam menggunakan tanaman herbal untuk kesehatan.
Salah satu hasil konkret dari penelitian ini adalah lahirnya produk ITS Djamoe, yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2022 sebagai langkah inovatif untuk memanfaatkan kekayaan alam Indonesia. ITS Djamoe telah mendistribusikan lebih dari 10.000 paket jamu rempah kepada para pasien Covid-19, di mana produk ini diyakini mampu membantu meningkatkan imunitas tubuh. Fatma, yang juga menjabat sebagai Presiden Organization for Women in Science for the Developing World (OWSD) Indonesia, menyatakan bahwa ITS Djamoe kini tersedia untuk publik dengan formulasi yang semakin optimal. “Dengan ini, jamu bukan hanya sekadar tradisi, melainkan memiliki landasan sains yang membawa banyak kebermanfaatan bagi masyarakat,” katanya.
Lebih dari sekadar produk, riset Fatma juga berdampak signifikan terhadap pelestarian biodiversitas Indonesia. Melibatkan masyarakat di pedalaman, ia optimis bahwa penelitiannya mampu memberdayakan komunitas lokal sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan hidup. Menurutnya, pelestarian tanaman herbal yang melibatkan masyarakat dapat menjadikan sains sebagai bagian integral dari kebudayaan lokal, sekaligus membawa manfaat sosial yang luas.
Keberhasilan ini bukanlah yang pertama bagi Fatma. Rekam jejaknya di dunia penelitian telah mengantarkannya meraih lebih dari 30 penghargaan berskala nasional dan internasional. Beberapa penghargaan bergengsi, seperti International L’Oréal-UNESCO for Women in Science (FWIS) dan Elsevier Foundation Awards for Early-Career Women Scientists in the Developing World, turut memperkuat posisinya di kancah ilmiah internasional. “Penghargaan The Asian Scientist 100 ini membuka peluang baru untuk riset-riset saya di masa depan, dan saya harap pencapaian ini juga bisa mengharumkan nama ITS di mata dunia,” ujar Fatma.
Di akhir wawancara, Fatma menyampaikan pesan penuh inspirasi kepada generasi muda. “Jadilah peneliti yang berani dan progresif, karena sains adalah jalan menuju kemanusiaan,” ucapnya. Dengan capaian ini, Fatma tidak hanya mengangkat nama ITS, tetapi juga Indonesia sebagai salah satu negara dengan ilmuwan-ilmuwan yang berdaya saing global.